Masalah kesehatan kerja yang kerap luput dari perhatian, Green Tobacco Sickness (GTS), terkuak memiliki prevalensi yang tinggi di kalangan petani tembakau di Kabupaten Bondowoso. Riset komprehensif yang dilakukan oleh Dwi Chandra Ramadhani, mahasiswa peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Jember (UNEJ), menunjukkan faktor-faktor sosiodemografi dan lingkungan berperan signifikan dalam peningkatan risiko penyakit ini.

Riset ini dibimbing oleh dosen Adistha Eka Noveyani dan Yunus Ariyanto, dengan judul Green Tobacco Sickness in Indonesia’s tobacco heartland: Sociodemographic and environmental determinants among farmers in Bondowoso regency.”


Tingginya Angka Kejadian GTS dan Gejala yang Dominan

Green Tobacco Sickness (GTS) adalah masalah kesehatan kerja yang disebabkan oleh penyerapan nikotin melalui kulit (dermal absorption) dari daun tembakau yang basah. Penyakit ini menimbulkan gejala akut seperti mual, muntah, dan pusing, serta menjadi risiko serius bagi petani di daerah penghasil tembakau.

Studi observasional analitik dengan desain cross-sectional ini dilakukan di Desa Kembang, Bondowoso, dari Oktober 2024 hingga Februari 2025. Dari total 186 petani tembakau yang dijadikan sampel menggunakan cluster random sampling52,2% di antaranya dilaporkan mengalami GTS. Gejala yang paling umum dirasakan adalah sakit kepala, pruritus (gatal-gatal), dan keringat berlebihan.


Faktor Kunci Penentu Risiko GTS

Penelitian ini mengumpulkan data mengenai faktor sosiodemografi (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status merokok, durasi kerja) dan sosio-lingkungan (kebersihan diri, penggunaan APD, dan aktivitas kerja). Mayoritas responden yang terjangkit adalah perempuan, berusia 40–49 tahun, dengan tingkat pendidikan rendah, dan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak tepat.

Analisis statistik membuktikan bahwa tiga faktor berikut berhubungan signifikan dengan kejadian GTS (p<0.05):

  1. Status Merokok
  2. Penggunaan APD
  3. Personal Hygiene (Kebersihan Diri)

Melalui analisis multivariat (regresi Poisson), teridentifikasi empat faktor sebagai prediktor independen GTS, yaitu jenis kelamin, status merokok, kebersihan diri, dan aktivitas kerja daun tembakau.

Menariknya, hasil riset menunjukkan bahwa perokok aktif (current smokers) memiliki risiko GTS yang lebih rendahsecara signifikan (Adjusted Prevalence Ratio, APR=0.60; 95% CI: 0.56–0.64). Peneliti menduga hal ini terkait dengan toleransi nikotin yang lebih tinggi pada tubuh perokok. Sebaliknya, penggunaan APD yang tidak tepat dan kebersihan diri yang buruk secara signifikan meningkatkan risiko GTS (APR=1.33; 95% CI: 1.19–1.48).


Rekomendasi Intervensi Kesehatan Kerja

Berdasarkan temuan tersebut, Dwi Chandra Ramadhani dan tim pembimbing menyimpulkan bahwa prevalensi GTS di kalangan petani tembakau Desa Kembang, Bondowoso, sangat tinggi dan dipengaruhi kuat oleh praktik kerja dan lingkungan.

“Intervensi kesehatan masyarakat yang terarah sangat mendesak untuk mengurangi risiko GTS pada populasi rentan ini,” ujar Dwi.

Rekomendasi utama dari riset ini adalah perlunya program penyuluhan dan intervensi yang berfokus pada:

  1. Peningkatan Praktik Kebersihan Diri: Edukasi mengenai pentingnya segera mencuci tangan dan mandi setelah kontak dengan daun tembakau basah.
  2. Peningkatan Penggunaan APD: Kampanye dan penyediaan APD yang memadai, seperti sarung tangan kedap air dan pakaian pelindung, serta pelatihan mengenai cara penggunaan yang benar.

Riset ini diharapkan menjadi landasan bagi pemerintah daerah dan pihak terkait untuk merumuskan kebijakan kesehatan kerja yang lebih efektif guna melindungi kesejahteraan para petani tembakau, tulang punggung industri di Bondowoso.

Referensi:

Ramadhani, D. C., Noveyani, A. E. & Ariyanto, Y. (2025). Green tobacco sickness in Indonesia’s tobacco heartland: Sociodemographic and environmental determinants among farmers in Bondowoso regency. Population Medicine7(August), 19. https://doi.org/10.18332/popmed/211571