Perubahan iklim kini terbukti tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga secara langsung memengaruhi kesehatan masyarakat. Sebuah studi mendalam yang dipimpin oleh dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Jember (Unej), Kurnia Ardiansyah Akbar, mengungkap temuan krusial: kenaikan suhu tahunan memiliki korelasi yang signifikan dengan peningkatan angka kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
Suhu Udara, Bukan Curah Hujan, Jadi Ancaman Utama
Riset yang bertajuk “Climate change and dengue Fever: A 14-year study of mortality trends during 2010-2023 in Indonesia” ini dilakukan dengan menganalisis data sekunder kasus DBD dan mortalitas dari Kementerian Kesehatan serta data iklim (suhu dan curah hujan) dari 116 stasiun BMKG di seluruh Indonesia, mencakup periode 2010 hingga 2023.
Selama ini, masyarakat sering mengaitkan lonjakan kasus DBD dengan musim hujan yang menyediakan tempat berkembang biak bagi nyamuk Aedes aegypti. Namun, hasil analisis regresi linier studi ini justru menunjukkan temuan yang mengejutkan dan memerlukan pergeseran fokus kebijakan:
- Suhu Udara Signifikan: Analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara suhu tahunan (annual temperature) dengan mortalitas DBD (p = 0.049). Artinya, semakin tinggi suhu udara rata-rata tahunan, semakin besar risiko kematian akibat DBD.
- Curah Hujan Tidak Signifikan: Sebaliknya, curah hujan tahunan (annual rainfall) tidak ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan angka kematian DBD dalam periode studi ini.
Mengapa Suhu Lebih Berbahaya?
Temuan ini menggarisbawahi bahwa bahaya iklim terhadap DBD bukan hanya tentang ketersediaan air (curah hujan), tetapi lebih kepada biologi nyamuk dan virus itu sendiri.
Peningkatan suhu diketahui dapat mempercepat:
- Siklus Hidup Nyamuk: Suhu yang lebih hangat memperpendek periode perkembangan nyamuk, sehingga populasi nyamuk dewasa (yang dapat menularkan) meningkat lebih cepat.
- Replikasi Virus: Suhu yang lebih tinggi juga mempercepat replikasi (perbanyakan) virus dengue di dalam tubuh nyamuk, mempersingkat masa inkubasi ekstrinsik. Alhasil, nyamuk menjadi infektif (mampu menularkan) dalam waktu yang lebih singkat, meningkatkan potensi penularan di masyarakat.
Rekomendasi: Intervensi Berbasis Data Iklim
Kurnia Ardiansyah Akbar dan tim peneliti menyimpulkan bahwa temuan ini menggarisbawahi pentingnya memantau perubahan iklim, terutama suhu, dalam manajemen penyakit tular vektor seperti DBD. Riset ini memperkuat perlunya intervensi kesehatan yang lebih tertarget dan ditingkatkan, berfokus pada mitigasi dampak kenaikan suhu terhadap penyebaran DBD.
Rekomendasi utama dari studi ini adalah agar pemerintah dan otoritas kesehatan perlu memperkuat sistem surveilans epidemiologi dengan mengintegrasikan data perkiraan suhu dari BMKG. Dengan demikian, upaya pencegahan (seperti fogging dan kampanye 3M Plus) dapat dilakukan secara lebih proaktif di wilayah yang diprediksi akan mengalami peningkatan suhu, jauh sebelum angka kasus dan kematian DBD melonjak.
Referensi:
Ardiansyah Akbar, K., Kumala Fatma, R., Elamouri, F., & Rockstroh, J. K. (2025). Climate change and dengue Fever: A 14-year study of mortality trends during 2010-2023 in Indonesia. Travel medicine and infectious disease, 67, 102893. https://doi.org/10.1016/j.tmaid.2025.102893